Senin, 12 Mei 2022

Header Ads

Pemungutan Cukai Plastik Sebagai Upaya Pengurangan Sampah Plastik

Screenshot_2020-06-30+Dampak+Negatif+Sampah+Plastik%252C+Kesehatan+Hingga+Lingkungan

Pada 1 Maret 2019, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia mengikat komitmen untuk melaksanakankebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis. Plastik tersebut dianggap sebagai barang  dagangan oleh pelaku usaha dengan harga jual minimal Rp.200 per kantong plastik. 

Hal ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan kantong belanja sendiri.

Hampir sebagian besar pengusaha ritel skala besar menerapkan kebijakan ini dengan kisaran harga plastik Rp.200 sampai Rp.1.000. Sayangnya kebijakan ini tidak terlalu efektif dalam menekan penggunaan kantong plastik. 

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuat sebuah survei untuk menilai efektivitas kebijakan kantong plastik berbayar pada ritel modern dari sisi konsumen. Survei yang dilakukan dengan metode investigasi ini menunjukan hasil bahwa dari 21 transaksi pada ritel, 10 konsumen diantaranya masih menggunakan kantong plastik. Rata-rata per konsumen dalam setiap transaksinya menggunakan lebih kurang 3 kantong plastik (Ylki.or.id, 2016).

Tidak efektifnya kebijakan atas tidak gratisnya kantong plastik ini dikarenakan preferensi masyarakat yang lebih memimilih untuk membayar kantong plastik dibanding membawa kantong belanja sendiri.

Masyarakat menganggap bahwa pembelian kantong plastik dengan harga yang masih terbilang murah yakni sebesar Rp.200 sampai Rp.1.000 lebih praktis dibanding harus membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Apalagi apabila sang pembeli membeli banyak barang sehingga tidak cukup menggunakan satu kantong belanja.

Selain itu, tidak semua pengusaha menerapkan hal ini. Hampir sebagian besar pengusaha mikro, kecil dan menengah tidak menerapkannya. Hal ini disebabkan karena ketakutan mereka bahwasanya akan menjadikan barang dagangan mereka tidak laku apabila mengenakan plastik berbayar. 

Asumsi pembeli yang terbiasa bila membeli barang maka harus diberikan kantong plastik sehingga membuat beberapa pengusaha mengurungkan niatnya untuk mengenakan plastik berbayar. Hal ini juga terjadi di Tiongkok dimana penelitian (Xing, 2009) di Tiongkok mengemukakan bahwa kantong plastik merupakan insentif untuk para konsumen pasar tradisional.

Kebijakan pembatasan penggunaan plastik di level swasta dapat dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, pengenaan suatu jenis pungutan atas plastik bisa dianggap menjadi salah satu solusi guna menekan
penggunaan plastik. Biasanya pungutan atas barang tertentu yang memiliki dampak negatif berupa pungutan cukai. 

Cukai merupakan pungutan oleh negara yang dikenakan terhadap barang yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu, beberapa karakteristik barang yang dikenai cukai biasanya peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat maupun lingkungan hidup, konsumsinya perlu dikendalikan, dapat juga dikenakan pada barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan negara.

Pumungutan cukai atas plastik dapat dilakukan pada produsen atau importir terlebih dahulu. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Irlandia mengingat pengadministrasian pada level ini masih lebih mudah dibanding pada level konsumen akhir. Dengan adanya pengenaan cukai atas plastik, maka harga jual plastik akan lebih tinggi. Sesuai dengan prinsip permintaan yakni ketika harga naik, permintaan turun.
Namun demikian, catatan akan prinsip permintaan akan berhasil menurunkan permintaan akan plastik apabila harga plastik naik secara signifikan. Dalam usulan yang diajukan oleh Menteri Keuangan, besaran cukai plastik adalah Rp.200 per lembar, peneliti anggap masih sangat kecil dan peneliti khawatirkan malah tidak efektf menekan konsumsi plastik. Berikut peneliti sajikan data besaran pungutan atas plastik dari beberapa negara (Katadata, 2020):

plastic-bottles-115071__340

Seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya bahwa salah satu penyebab masih tingginya keinginan masyarakat untuk membeli plastik di toko ritel ialah karena harnya yang masih terbilang murah. Oleh karena itu, sebaiknya apabila memang berfokus pada penekanan konsumsi plastik sebaiknya justru mengenakan tarif yang tinggi dari hanya sebesar Rp.200 sehingga mau tidak mau akan memaksa masyarakat untuk membawa kantong belanja sendiri. 

Meskipun pasti yang terdampak secara ekonomi secara signifikan ialah produsen dan importir plastik yakni dengan penurunan pendapatan produsen dan importir plastik tersebut. Namun demikian, dengan adanya cukai ini diharapkan mampu mendorong industri plastik untuk terus berinovasi agar mampu memproduksi plastik yang mudah terurai.

Di Afrika Selatan membuktikan bahwa kebijakan pemungutan atas kantong plastik hanya mampu menekan penggunaan konsumsi kantong plastik dalam jangka pendek. Hal ini dikarekan pungutan yang dikenakan terbilang rendah sehingga masyarakat kembai untuk menggunakan kantong plastik (Dikgang, Leiman, & Visser, 2012). 

Bercermin pada Afrika Selatan yang besaran pungutan atas plastiknya lebih tinggi dari Indonesia saja bisa gagal karena masih dianggap terlalu rendah. Oleh karena itu, apabila pemerintah benar-benar berkomitmen untuk mengurangi konsumsi plastik sebaiknya tarif cukai plastik lebih tinggi dari sekedar pungutan Rp.200 per kantong.

Dengan adanya pungutan cukai atas plastik pasti akan meningkatkan penerimaan negara. Namun, penerimaan atas pungutan cukai plastik ini sebaiknya digunakan untuk membiayai upaya perbaikan lingkungan akibat plastik misalnya dengan membeli perangkat pengolah sampah, membiayai penelitian untuk barang subtitusi plastik yang ramah lingkungan dan sebagainya. 

Hal ini seperti kebijakan yang diambil oleh pemerintah Toronto dimana penerimaan atas retribusi plastik digunakan untuk kegiatan lingkungan atau subsidi atas harga kantung belanja yang dapat dipakai berulang (Rivers, Shenstone, & Young, 2017).

Peranan para pemangku kepentingan juga sangat diperlukan yakni dengan adanya komitmen pemerintah, pengusaha serta konsumen. Komitmen pemerintah dapat ditunjukkan dengan adanya pembiayaan untuk menerapkan kebijakan ini seperti sosialisasi hingga persiapan sarana prasarana penunjang. 

Pengawasan atas pungutan cukai ini pun harus diperhatikan agar jangan sampai adanya perbedaan perlakuan atas pungutan cukai. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya pungutan ini bagi keberlangsungan lingkungan juga harus terus disosialisasikan agar masyarakat mulai beralih untuk menggunakan kantong belanja yang dapat dipakai berulang kali.


KESIMPULAN

Cara yang paling efektif untuk mengurangi konsumsi plastik di Indonesia adalah dengan melakukan pemungutan cukai pada setiap lembar plastik. 

Pemungutan cukai dapat dikenakan kepada produsen atau importir plastik sehingga harga jual per lembar kantong plastik yang ditawarkan produsen atau importir kepada konsumen menjadi lebih tinggi.

Nominal dalam menetapkan besarnya cukai plastik juga harus lebih dipertimbangkan agar tidak terlalu rendah bahkan diharapkan cukup tinggi sehingga calon konsumen akan berfikir ulang atau enggan ketika hendak membeli atau menggunakan kantung plastik dalam beraktivitas. 

Hal ini tentu secara langsung akan berdampak pada berkurangnya sampah limbah plasik yang ada di Indonesia.Adapun pendapatan atas cukai plastik digunakan untuk membiayai kegiatan perbaikan lingkungan.

Penulis: Notika Rahmi, Selvi
Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI, Jakarta, Indonesia