Header Ads

Pemungutan Pajak: Perbedaan Pemanfaatan Pajak dan Zakat Dalam Bingkai Syariah

Pemungutan Pajak: Perbedaan Pemanfaatan Dana Pajak dan Zakat Dalam Bingkai Syariah
Pemungutan Pajak: Perbedaan Pemanfaatan Dana Pajak dan Zakat Dalam Bingkai Syariah
Oleh : Anisa Nur Azizah
Mahasiswi STEI SEBI

Indonesia sedang mengalami defisit atau penyusutan keuangan. Menteri keuangan mengatakan bahwa total penerimaan negara pada akhir oktober 2019 sebesar Rp 1.0508,7 triliun. Meski naik 1,2 % dibandingkan periode sebelumnya, tetapi masih 69,7% dari target. Total penerimaan perpajakan Januari hingga Oktober 2019 tercatat Rp 1.173,9 triliun. Jumlah ini masih 65,7%. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berada di Rp 333,3 triliun. Dengan dua bulan tersisa, jumlah ini masih 88,1% dari target. Hal ini menunjukkan terjadinya kelesuan penerimaan pajak dan PNBP, salah satu penyebab nya adalah realisasi asumsi makro yang tidak sesuai perkiraan yang telah dianggarkan.

Selain itu yang menjadi permasalahan pajak di Indonesia lesu adalah pertama adalah disebabkan oleh watak dari sebagian besar wajib pajak yang selalu ingin menghindari pajak baik  secara legal maupun ilegal, kedua tidak belum dirasakannya dampak dari pembayaran pajak secara nyata dalam masyarakat. Masalah lainnya yang secara khusus terjadi di negara yang sebagian besar penduduknya muslim seperti di Indonesia adalah adanya keengganan sebagian besar warga muslim yang merasa keberatan dengan adanya kewajiban ganda (double tax) karena selain membayar pajak, masyarakat muslim juga wajib mengeluarkan zakat sebagaimana perintah dari agamanya.

Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data Global religius future, penduduk Indonesia yang beragama islam pada 2019 diperkirakan mencapai 229,62 juta jiwa. Sementara itu, pada 2050 diprediksi akan meningkat mencapai 256,82 juta jiwa.
Maka itu perlu adanya regulasi atau aturan dalam pemungutan pajak yang sesuai. 

Islam adalah agama yang komprehensif atau menyeluruh, dimana setiap perkara kecil hingga besar telah diatur didalamnya, Setiap Muslim sebelum memberikan dana kepada siapapun, baik individu, organisasi dan atau perusahaan bahkan Negara menjadi suatu hal yang penting dalam mengetahui kemana dana dari mereka akan kemana dana tersebut dialokasikan, untuk keperluan apa saja, apakah dialokasikan untuk hal yang memberikan dampak positif atau sebaliknya memberikan dampak negatif. Hal ini dapat memberikan pengaruh kepada seluruh warga Indonesia,   terutama khususnya warga muslim, sehingga mereka tidak enggan dan terbebani dalam membayar zakat maupun pajak.

Apa itu pajak? 

Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Sedangkan pajak dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan “Adh-Dhariibah” yang berarti: “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.”

Yusuf Qardhawi berpendapat, pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap terhadap Wajib Pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.

Pajak adalah instrumen penting dalam kehidupan bernegara, diantaranya sebagai pembangunan nasional dan sumber pendapatan negara, pajak memiliki empat fungsi diantaranya sebagai berikut:
  1. Fungsi Anggaran atau Budgetair, yaitu berfungsi untuk membiayai pengeluaran pengeluaran negara.
  2. Fungsi Mengatur atau Regulerend, yaitu pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
  3. Fungsi Stabilitas, yaitu Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan.
  4. Fungsi Redistribusi Pendapatan, yaitu digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum.
zakat berasal dari kata zaka yang merupakan isim Masdar, yaitu yang secara etimologi mempunyai beberapa arti yaitu suci, tumbuh, berkah, terpuji, dan berkembang

Apa itu Zakat?

Kata zakat berasal dari kata zaka yang merupakan isim Masdar, yaitu yang secara etimologi mempunyai beberapa arti yaitu suci, tumbuh, berkah, terpuji, dan berkembang. Adapun secara terminologis zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak.. (Mardani,2012).

Yusuf Qardhawi mendefinisikan zakat sebagai bagian yang telah terukur dari harta yang diwajibkan Allah SWT untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak. Zakat juga diartikan mengeluarkan sesuatu tersebut.

Zakat merupakan rukun islam ketiga, dimana kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap Muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) yang  mereka memiliki sejumlah harta yang telah mencapai batas nisabnya.

Dasar diwajibkannya zakat ini terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103 dan Al- Baqarah ayat 110. Adapun dalam hadist sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: “Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad SAW utusan Allah, menegakkan solat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim).

Bagaimana Konsep Pajak Dalam Bingkai Syariah?

Sistem ekonomi islam memandang bahwa pembebanan pemungutan kepada warga negara baik dalam bentuk pajak atau zakat merupakan suatu keniscayaan dalam hidup bernegara, karena bagaimanapun pemerintah pasti membutuhkan dana tersebut untuk melakukan pembangunan. Tujuan dari kedua hal tersebut adalah sama, yakni untuk mencapai kemaslahatan bersama, meskipun berbeda dalam aspek konsep dan implementasinya.

Dasar kewajiban membayar pajak (dharibah) adalah ayat 29 surat At-Taubah yang artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberi alKitab kepada mereka, sampai mereka membayar ‘Jizyah’ dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29).

Para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, diantaranya; Al Juwaini, Syatibi, para ulama andalus dan ulama mazhab hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat :
  1. Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata,” Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya”.
  2. Pemasukan negara dari jizyah, kharaj dll tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara. Dengan kata lain kas baitul maal kosong. Ibnu al Arabi berkata, “Kas negara habis dan kosong”. 
  3. Bermusyawarah dengan ahlul hilli walaqdi. Ibnu Al Arabi berkata,”tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah kepada para ulama”.
  4. Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al Haitami berkata, “Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta setelah dikeluarkan kebutuhan pokoknya”. 
  5. Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan. Tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah. 
  6. Masih adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara. 


Syatibi berkata, ”Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. Jika darurat telah hilang maka pajak pun dihapuskan”.
Bagaimana Implementasi Pemungutan Pajak di Indonesia? 

Pemungutan pajak di Indonesia mengenal 3 (tiga) jenis sistem pemungutan, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding Assessment System (Waluyo, 2011). Saat ini pemerintah lebih mendorong masyarakat untuk melakukan pemungutan pajak dengan Self Assessment System agar masyarakat dapat membayarkan dan melaporkan pajaknya dengan tujuan meningkatnya kesadaran dan kepatuhan dari Wajib Pajak 

Apa Perbedaan Pemanfaatan dana Pajak dan Zakat Dalam Bingkai Syariah?

Pemanfaatan pajak dan tujuan zakat pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual. Pajak pada dasarnya dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam bidang dan sektor pembangunan, begitupun pemanfaatan dana zakat dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan pengalokasian dari mustahik zakat seperti pembangunan bidang ekonomi, perhubungan dan pariwisata, peningkatan pengamalan agama, sektor pendidikan, generasi muda dan kebudayaan, pembangunan kesehatan, jaminan kesejahteraan sosial, sektor peranan wanita, pembangunan dalam bidang politik, aparatur pemerintah serta hukum luar negeri. Semoga. 


Daftar pustaka
https://www.cnbindonesia.com/news/20191118125459-4-115991/pajak-lesu-begini-gambaran-apbn-per-oktober-2019
https://www.kemenkeu.go.id/apbn/2019
Firdaus, Muhammad Sakinul. Tinjauan Syariah Terhadap Pengalokasian Dana Pajak Di Indonesia. Universitas Djuanda, Jurnal Sketsa Bisnis Vol.6 No.1 2019.
Turmudi Muhammad. Pajak Dalam Perspektif Hukum Islam: Analisa Pemanfaatan Pajak dan Zakat. Institut Agama Islam Negeri Kendari, Jurnal Al-‘Adl  Vol. 8 No. 1, Januari  2015. 
Hadiyati, Nur. Integrasi Pajak dan Zakat Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Nasional. Jurnal Fakultas Hukum Islam Universitas Indonesia Vol.26, No.2, September 2018-Februari 2019, hlm. 178-189.
Ridwan, Murtadho. Pajak Vs Zakat: Studi Perbandingan Di Beberapa Negara Muslim. Jurnal Zakat dan Wakaf STAIN Kudus Vol. 1, No. 1, Juni 2014.